BAB
I
LATAR
BELAKANG
Pada
saat ini umat Islam dihadapkan pada persoalan-persoalan ekonomi kontemporer,
akibat dari perkembangan peradaban manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Untuk itu ekonomi Islam harus bisa menghadapi atau menjawab serta
memberikan solusi-solusi atau alternatif terhadap masalah-masalah ekonomi yang semakin
berkembang, salah satunya adalah pada persoalan asuransi syariah.
Asuransi merupakan suatu bentuk
kerjasama pertanggungan tolong-menolong dalam menghadapi suatu resiko kerugian
yang kemungkinan akan dihadapi oleh mereka yang berserikat. Hal ini merupakan
suatu kebutuhan dasar bagi manusia karena kecelakaan dan konsekwensi
finansialnya memerlukan santunan, karena asuransi merupakan bentuk organisasi
atau perusahaan penyantun masalah-masalah universal, seperti kematian, cacat,
kebakaran, banjir dan kecelakaan-kecelakaan yang bersangkutan dengan
transportasi serta kerugian finansial yang disebabkannya.
Namun konsep dan perjanjian asuransi
merupakan jenis akad baru yang belum pernah ada pada masa-masa pertama
perkembangan fiqih Islam. Hal ini menimbulkan banyak perbincangan dan pendapat
tentang keberadaan hukum asuransi menurut syariat Islam. Perbedaan pendapat
bermunculan dari para ulama fiqih dan para cendikiawan muslim. Diantara mereka
ada yang membolehkan dan menghalalkan asuransi dan sebagaian yang lainya ada
yang mengharamkan semua jenis asuransi, serta ada sebagian kelompok yang hanya
mengharamkan asuransi pada sebagian macamnya saja.
Dengan demikian hal ini
perlu kita kaji secara mendalam tentang perasuransian syariah yang pada saat
sekarang ini lembaga asuransi khususnya pada asuransi syariah semakin pesat
perkembangannya.
Dalam makalah ini akan kita bahas
dimulai dari sejarah asuransi itu sendiri, pengertian asuransi, prinsip-prinsi
atau nilai dalam asuransi syariah, perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli
fiqih dan cendikiawan muslim, perbedaan asuransi syariah dengan asuransi
konvensional, mekanisme pengelolaan dana dan produk-produk dalam asuransi
syariah. Dari sub-sub pembahasan tersebut, akan dirangkum dengan judul tema
“Asuransi Dalam Bisnis Syariah”.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah asuransi dalam Islam
Menurut Karnaen Perwataatmadja,
“Praktek asuransi dalam Islam sebenarnya telah pernah dilakukan pada masa Nabi
Yusuf as. yaitu pada saat ia menafsirkan mimpi dari Raja Fir’aun. Tafsiran yang
ia sampaikan adalah bahwa Mesir akan mengalami 7 (tujuh) masa panen yang
melimpah dan diikuti dengan 7 (tujuh) masa tahun paceklik. Untuk menghadapi
masa kesulitan (paceklik) itu Nabi Yusuf menyarankan agar menyisihkan sebagian pendapatan dari hasil penen
pada 7 (tujuh) masa tahun pertama berturut-turut. Saran dari Nabi Yusuf as. ini
diikuti oleh Raja Fir’aun sehingga masa paceklik dapat ditangani dengan baik”.[1]
Sebagaimana Firman Allah yang dikisahkan dalam surat Yusuf (12): 43-49, yang artinya sebagai
berikut:
43.
Raja berkata
(kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya Aku bermimpi
melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi
betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir
lainnya yang kering." Hai orang-orang
yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika
kamu dapat mena'birkan mimpi."
44.
Mereka menjawab: "(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami
sekali-kali tidak tahu menta'birkan mimpi itu."
45.
Dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat
(kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan
kepadamu tentang (orang yang pandai) mena'birkan mimpi itu, Maka utuslah Aku
(kepadanya)."
46.
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): "Yusuf,
Hai orang yang amat dipercaya, Terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi
betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang
kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering
agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya."
47.
Yusuf berkata: "Supaya kamu
bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai
hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.
48.
Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan
apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari
(bibit gandum) yang kamu simpan.
49.
Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan
(dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur."
Selanjutnya konsep
asuransi juga
sudah ada sejak zaman Rasulullah yang disebut dengan Aqilah.[2]
Menurut Muhsin Khan, kata aqilah berarti asabah yang menunjukkan
hubungan ayah dengan pembunuh, artinya dimana suku Arab zaman dulu barang siapa
yang membunuh harus siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama
pembunuh untuk membayar pewaris korban.[3]
Hal ini sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab sejak zaman dahulu bahwa jika ada
salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain, pewaris korban
akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara
terdekat dari pembunuh.
Pada perkembangan selanjutnya, Muhammad
Syakir Sula[4]
menceritakan dimana Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Baari, dengan
datangnya Islam, sistem aqilah diterima oleh Rasulullah menjadi bagian
dari hukum Islam. Sebagaimana hal tersebut dapat dikisahkan dalam pertengkaran
antara dua wanita dari suku Huzail. Salah seorang dari mereka memukul yang lain
dengan batu hingga mengakibatkan kematian wanita itu dan cabang bayi dalam
rahimnya. Pewaris korban membawa kejadian itu ke pengadilan, Rasulullah
memberikan keputusan bahwa kompensasi bagi pembunuh anak bayi adalah
membebaskan seorang budak laki-laki atau wanita, sedangkan kompensasi atas membunuh
wanita adalah uang darah (diyat) yang harus dibayar oleh aqilah (saudara
pihak ayah dari yang tertuduh).
MM Billah dalam disertasi doktornya
mengatakan bahwa piagam Madinah adalah konstitusi pertama di dunia yang
dipersiapkan langsung oleh Nabi Muhammad setelah hijrah ke Madinah. Beberapa
pasal memuat ketentuan tentang asuransi sosial dengan sistem aqilah.
Dalam pasal 3 Konstitusi Madinah, Rasulullah membuat ketentuan mengenai
penyelamatan jiwa para tawanan, yang menyatakan bahwa jika tawanan yang
tertahan oleh musuh karena perang, harus membayar tebusan kepada musuh untuk
membebaskan yang ditawan. Konstitusi tersebut merupakan bentuk lain dari
asuransi sosial.[5]
Seiring dengan perjalanan waktu,
istilah asuransi semakin berkembang, baik perlindungan terhadap jiwa, barang
dan lain sebagainya, dan bahkan ada produk investasi dalam asuransi.
B.
Pengertian asuransi
Kata Asuransi berasal dari bahasa
Belanda assurantie, dan dalam bahasa Inggris disebut insurance.
Kata tersebut kemudian disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata
“pertanggungan”. Kemudian dalam bahasa Arab asuransi digunakan dengan istilah at-ta’min,
penanggungnya disebut mu’ammin, dan tertanggung disebut dengan mu’amman
lahu atau musta’min.[6]
Menurut Adiwarman Karim, at’ta’min,
asuransi atau pertanggungan adalah suatu akad yang konsekwensinya salah satu
pihak menjanjikan pihak lain untuk menanggung kerugian yang mungkin dihadapinya
sebagai imbalan dari apa yang diberikan kepadanya yang disebut premi asuransi.[7]
Sementara dalam Kitab Undang-Undang Perniagaan (Wetboek van Koophandel)
bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang
meminjam berjanji kepada pihak yang dipinjam untuk menerima sejumlah uang premi
sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena
akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.[8]
Jadi Asuransi adalah sebuah akad
pertanggungan yang mengharuskan penanggung (mu’amin) atau dalam hal ini
adalah perusahaan untuk memberikan kepada nasabah atau kliennya (Mu’amman)
sejumlah harta sebagai konsekwensi daripada akad itu, baik itu berbentuk
imbalan, gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun sesuai dengan yang
tertera dalam akad ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya
sebuah bahaya yang tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi)
yang dibayarkan secara rutin, berkala maupun secara kontan dari klien atau
nasabah tersebut kepada perusahaan asuransi (mu’ammin) disaat hidupnya.
Dari definisi-definisi di atas asuransi
bertujuan untuk mengadakan persiapan dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan
kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupannya, sehingga mendorong
manusia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan cara-cara yang aman
untuk melindungi diri dan kepentingan mereka.
C. Prinsip-Prinsip Dalam Asuransi
Syariah
Ada beberapa
prinsip-prinsip atau nilai dasar yang melandasi praktek bermuamalat, khususnya
pada asuransi syariah. Sebagai berikut:[9]
1. Prinsip Tauhid
Tauhid merupakan prinsip dasar dalam
asuransi syariah. Karena pada haekekatnya setiap muslim harus melandasi dirinya
dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya, tidak terkecuali
dalam bermuamalah. Artinya bahwa niatan dasar ketika berasuransi syariah
haruslah berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah
SWT. Sebagai contoh dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan
dalam berasuransi syariah bukanlah semata-mata meraih keuntungan, atau menangkap
peluang pasar yang sedang cenderung pada syariah. Namun lebih dari itu, niatan
awalnya adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam dunia
asuransi. Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi syariah adalah bertujuan
untuk bertransaksi dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah,
dan bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah.
2. Prinsip Keadilan
Prinsip kedua yang menjadi
nilai-nilai dalam pengimplementasian asuransi syariah adalah prinsip keadilan.
Artinya bahwa asuransi syariah harus benar-benar bersikap adil, khususnya dalam
membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, maupun antara nasabah
dengan perusahaan asuransi syariah, terkait dengan hak dan kewajiban
masing-masing. Asuransi syariah tidak boleh mendzalimi nasabah dengan hal-hal
yang akan menyulitkan atau merugikan nasabah. Ditinjau dari sisi
asuransi sebagai sebuah perusahaan, potensi untuk melakukan ketidak
adilan sangatlah besar. Seperti adanya unsur dana hangus (pada saving produk),
dimana nasabah yang sudah ikut asuransi (misalnya asuransi pendidikan) dengan
periode tertentu, namun karena suatu hal ia membatalkan kepesertaannya di
tengah jalan. Pada asuransi syariah, dana saving nasabah yang telah
dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada nasabah bersangkutan,
berikut hasil investasinya.
3. Prinsip tolong-menolong
Semangat tolong menolong merupakan
aspek yang sangat penting dalam operasional asuransi syariah. Karena pada
hekekatnya, konsep asuransi syariah didasarkan pada prinsip Tabarru’. Dimana
sesama peserta bertabarru’ atau berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang
tertimpa musibah. Nasabah tidaklah berderma kepada perusahaan asuransi syariah,
peserta berderma hanya kepada sesama peserta saja. Perusahaan asuransi syariah
bertindak sebagai pengelola saja. Konsekwensinya, perusahaan tidak berhak
mengklaim atau mengambil dana tabarru’ nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan
dari ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ tersebut, yang dibayarkan oleh
nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi (premi). Perusahaan
asuransi syariah mengelola dana tabarru’ tersebut, untuk diinvestasikan (secara
syariah) lalu kemudia dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah.
Dan dengan konsep seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah
mengimplementasikan saling tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak
saling bertatap muka.
4. Prinsip Kerjasama
kok kepotong?
BalasHapus