Sabtu, 10 Maret 2012

Asuransi Dalam Ekonomi Islam

BAB I
LATAR BELAKANG
          Pada saat ini umat Islam dihadapkan pada persoalan-persoalan ekonomi kontemporer, akibat dari perkembangan peradaban manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu ekonomi Islam harus bisa menghadapi atau menjawab serta memberikan solusi-solusi atau alternatif  terhadap masalah-masalah ekonomi yang semakin berkembang, salah satunya adalah pada persoalan asuransi syariah.
          Asuransi merupakan suatu bentuk kerjasama pertanggungan tolong-menolong dalam menghadapi suatu resiko kerugian yang kemungkinan akan dihadapi oleh mereka yang berserikat. Hal ini merupakan suatu kebutuhan dasar bagi manusia karena kecelakaan dan konsekwensi finansialnya memerlukan santunan, karena asuransi merupakan bentuk organisasi atau perusahaan penyantun masalah-masalah universal, seperti kematian, cacat, kebakaran, banjir dan kecelakaan-kecelakaan yang bersangkutan dengan transportasi serta kerugian finansial yang disebabkannya.
          Namun konsep dan perjanjian asuransi merupakan jenis akad baru yang belum pernah ada pada masa-masa pertama perkembangan fiqih Islam. Hal ini menimbulkan banyak perbincangan dan pendapat tentang keberadaan hukum asuransi menurut syariat Islam. Perbedaan pendapat bermunculan dari para ulama fiqih dan para cendikiawan muslim. Diantara mereka ada yang membolehkan dan menghalalkan asuransi dan sebagaian yang lainya ada yang mengharamkan semua jenis asuransi, serta ada sebagian kelompok yang hanya mengharamkan asuransi pada sebagian macamnya saja.
          Dengan demikian hal ini perlu kita kaji secara mendalam tentang perasuransian syariah yang pada saat sekarang ini lembaga asuransi khususnya pada asuransi syariah semakin pesat perkembangannya.
          Dalam makalah ini akan kita bahas dimulai dari sejarah asuransi itu sendiri, pengertian asuransi, prinsip-prinsi atau nilai dalam asuransi syariah, perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli fiqih dan cendikiawan muslim, perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, mekanisme pengelolaan dana dan produk-produk dalam asuransi syariah. Dari sub-sub pembahasan tersebut, akan dirangkum dengan judul tema “Asuransi Dalam Bisnis Syariah”.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah asuransi dalam Islam
          Menurut Karnaen Perwataatmadja, “Praktek asuransi dalam Islam sebenarnya telah pernah dilakukan pada masa Nabi Yusuf as. yaitu pada saat ia menafsirkan mimpi dari Raja Fir’aun. Tafsiran yang ia sampaikan adalah bahwa Mesir akan mengalami 7 (tujuh) masa panen yang melimpah dan diikuti dengan 7 (tujuh) masa tahun paceklik. Untuk menghadapi masa kesulitan (paceklik) itu Nabi Yusuf menyarankan agar menyisihkan sebagian pendapatan dari hasil penen pada 7 (tujuh) masa tahun pertama berturut-turut. Saran dari Nabi Yusuf as. ini diikuti oleh Raja Fir’aun sehingga masa paceklik dapat ditangani dengan baik.[1] Sebagaimana Firman Allah yang dikisahkan dalam surat Yusuf (12): 43-49, yang artinya sebagai berikut:
43.  Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya Aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi."
44.  Mereka menjawab: "(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menta'birkan mimpi itu."
45.  Dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena'birkan mimpi itu, Maka utuslah Aku (kepadanya)."
46.  (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): "Yusuf, Hai orang yang amat dipercaya, Terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya."
47.  Yusuf  berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.
48.  Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.
49.  Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur."
          Selanjutnya konsep asuransi juga sudah ada sejak zaman Rasulullah yang disebut dengan Aqilah.[2] Menurut Muhsin Khan, kata aqilah berarti asabah yang menunjukkan hubungan ayah dengan pembunuh, artinya dimana suku Arab zaman dulu barang siapa yang membunuh harus siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris korban.[3] Hal ini sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab sejak zaman dahulu bahwa jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain, pewaris korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh.
          Pada perkembangan selanjutnya, Muhammad Syakir Sula[4] menceritakan dimana Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Baari, dengan datangnya Islam, sistem aqilah diterima oleh Rasulullah menjadi bagian dari hukum Islam. Sebagaimana hal tersebut dapat dikisahkan dalam pertengkaran antara dua wanita dari suku Huzail. Salah seorang dari mereka memukul yang lain dengan batu hingga mengakibatkan kematian wanita itu dan cabang bayi dalam rahimnya. Pewaris korban membawa kejadian itu ke pengadilan, Rasulullah memberikan keputusan bahwa kompensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan seorang budak laki-laki atau wanita, sedangkan kompensasi atas membunuh wanita adalah uang darah (diyat) yang harus dibayar oleh aqilah (saudara pihak ayah dari yang tertuduh).
          MM Billah dalam disertasi doktornya mengatakan bahwa piagam Madinah adalah konstitusi pertama di dunia yang dipersiapkan langsung oleh Nabi Muhammad setelah hijrah ke Madinah. Beberapa pasal memuat ketentuan tentang asuransi sosial dengan sistem aqilah. Dalam pasal 3 Konstitusi Madinah, Rasulullah membuat ketentuan mengenai penyelamatan jiwa para tawanan, yang menyatakan bahwa jika tawanan yang tertahan oleh musuh karena perang, harus membayar tebusan kepada musuh untuk membebaskan yang ditawan. Konstitusi tersebut merupakan bentuk lain dari asuransi sosial.[5]
          Seiring dengan perjalanan waktu, istilah asuransi semakin berkembang, baik perlindungan terhadap jiwa, barang dan lain sebagainya, dan bahkan ada produk investasi dalam asuransi.

B. Pengertian asuransi
          Kata Asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie, dan dalam bahasa Inggris disebut insurance. Kata tersebut kemudian disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata “pertanggungan”. Kemudian dalam bahasa Arab asuransi digunakan dengan istilah at-ta’min, penanggungnya disebut mu’ammin, dan tertanggung disebut dengan mu’amman lahu atau musta’min.[6]
          Menurut Adiwarman Karim, at’ta’min, asuransi atau pertanggungan adalah suatu akad yang konsekwensinya salah satu pihak menjanjikan pihak lain untuk menanggung kerugian yang mungkin dihadapinya sebagai imbalan dari apa yang diberikan kepadanya yang disebut premi asuransi.[7] Sementara dalam Kitab Undang-Undang Perniagaan (Wetboek van Koophandel) bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dipinjam untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.[8]
          Jadi Asuransi adalah sebuah akad pertanggungan yang mengharuskan penanggung (mu’amin) atau dalam hal ini adalah perusahaan untuk memberikan kepada nasabah atau kliennya (Mu’amman) sejumlah harta sebagai konsekwensi daripada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun sesuai dengan yang tertera dalam akad ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya yang tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin, berkala maupun secara kontan dari klien atau nasabah tersebut kepada perusahaan asuransi (mu’ammin) disaat hidupnya.
          Dari definisi-definisi di atas asuransi bertujuan untuk mengadakan persiapan dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupannya, sehingga mendorong manusia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan cara-cara yang aman untuk melindungi diri dan kepentingan mereka.

C. Prinsip-Prinsip Dalam Asuransi Syariah
          Ada beberapa prinsip-prinsip atau nilai dasar yang melandasi praktek bermuamalat, khususnya pada asuransi syariah. Sebagai berikut:[9]
1. Prinsip Tauhid
          Tauhid merupakan prinsip dasar dalam asuransi syariah. Karena pada haekekatnya setiap muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya, tidak terkecuali dalam bermuamalah.  Artinya bahwa niatan dasar ketika berasuransi syariah haruslah berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT.  Sebagai contoh dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi syariah bukanlah semata-mata meraih keuntungan, atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung pada syariah. Namun lebih dari itu, niatan awalnya adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam dunia asuransi. Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi syariah adalah bertujuan untuk bertransaksi dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah, dan bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah.

2. Prinsip Keadilan
          Prinsip kedua yang menjadi nilai-nilai dalam pengimplementasian asuransi syariah adalah prinsip keadilan. Artinya bahwa asuransi syariah harus benar-benar bersikap adil, khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, maupun antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah, terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing. Asuransi syariah tidak boleh mendzalimi nasabah dengan hal-hal yang akan menyulitkan atau merugikan nasabah. Ditinjau dari sisi asuransi  sebagai sebuah perusahaan, potensi untuk melakukan ketidak adilan sangatlah besar. Seperti adanya unsur dana hangus (pada saving produk), dimana nasabah yang sudah ikut asuransi (misalnya asuransi pendidikan) dengan periode tertentu, namun karena suatu hal ia membatalkan kepesertaannya di tengah jalan. Pada asuransi syariah, dana saving nasabah yang telah dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada nasabah bersangkutan, berikut hasil investasinya.
3. Prinsip tolong-menolong
          Semangat tolong menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional asuransi syariah. Karena pada hekekatnya, konsep asuransi syariah didasarkan pada prinsip Tabarru’. Dimana sesama peserta bertabarru’ atau berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah tidaklah berderma kepada perusahaan asuransi syariah, peserta berderma hanya kepada sesama peserta saja. Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai pengelola saja. Konsekwensinya, perusahaan tidak berhak mengklaim atau mengambil dana tabarru’ nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan dari ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi (premi).  Perusahaan asuransi syariah mengelola dana tabarru’ tersebut, untuk diinvestasikan (secara syariah) lalu kemudia dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Dan dengan konsep seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah mengimplementasikan saling tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak saling bertatap muka.

4. Prinsip Kerjasama

1 komentar: