Sabtu, 10 Maret 2012

MUZARAAH DALAM EKONOMI ISLAM


BAB 1
PENDAHULUAN
         
           Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, banyak sektor-sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada sektor pertanian. Masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang memiliki lahan sendiri untuk digarap, yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga yang tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga untuk mencukupi kebutuhannya, mereka bekerjasama dengan yang memiliki lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan imbalan bagi hasil. Namun ada juga mereka yang telah memiliki lahan sendiri, dikarenakan lahannya sedikit maka hasilnya belum mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk menambah penghasilan mereka juga bekerja di lahan milik orang lain dengan imbalan bagi hasil pertanian. Terdapat juga pemilik yang mempunyai beberapa bidang tanah tetapi tidak dapat menggarapnya karena suatu sebab sehingga penggarapannya diwakili orang lain dengan mendapat sebagian hasilnya. Kondisi seperti ini pada umumnya terlihat pada masyarakat pedesaan kita saat ini. Dari beberapa permasalahan ini ada baiknya kita rangkaikan menjadi suatu kesatuan yang saling memenuhi atau membutuhkan antara permasalahan yang satu dengan yang lainnya yaitu dalam bentuk kerjasama bagi hasil.
          Dari permasalahan di atas Islam mempunyai solusi salah satunya memanfaatkan lahan pertanian dengan sistem muzara’ah. Jadi pembahasan makalah kami kali ini adalah Muzara’ah Dalam Ekonomi Pertanian Islam, yang kami buat rincian sebagai berikut:
a. Pengertian muzara’ah
b. Dasar hukum atau dalil dari sistem muzara’ah
c. Rukun dan syarat muzara’ah
d. Perbedaan pendapat tentang muzara’ah
e. Aplikasi dan perhitungan bagi hasil muzara’ah
f. Implikasi atau dampak dari sistem muzara’ah
g. Berakhirnya akad muzara’ah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian muzara’ah
          Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, pertama adalah tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah al-hadzar (modal). Makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki.[1]  Al-Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap tanah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya”.[2] Sedangkan yang dimaksud di sini adalah memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia memperoleh setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya.
Menurut istilah muzara’ah didefiniskan oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, yang dikutif oleh Hendi Suhendi adalah sebagai berikut:
“Menurut Hanafiah muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi. Menurut Hambaliah muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit. Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah”.[3]
          Menurut Sulaiman Rasyid, muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Sementara mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakannya. [4]
           Jadi muzara’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzara’ah berarti kerjasama antara pemilik lahan dengan petani penggarap dimana pemilik lahan memberikan tanah kepada petani untuk digarap agar dia mendapatkan bagian dari hasil tanamannya. Misalnya seperdua, sepertiga, lebih banyak atau lebiih sedikit daripada itu.

B. Dasar hukum muzara’ah
          Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)[5]
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.(Hadits Riwayat Bukhari)[6]
          Dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas, bahwa bagi hasil dengan sistem muzara’ah itu dibolehkan.

C. Rukun dan syarat muzara’ah
           Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.[7]
          Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:[8]
  1. Pemilik tanah
  2. Petani penggarap
  3. Objek al-muzaraah
  4. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
       
          Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
1.      Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang ditanam.
3.      Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
4.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas tanah.
5.      Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
6.      Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah.[9]
          Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
1.      Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
2.      Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
3.      Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
4.      Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
5.      Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.

D. Perbedaan pendapat tentang muzara’ah
          Munculnya Hadis tentang muzara`ah dari Rafi` bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah melarang dilakukannya muzara`ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, dengan dalil Hadis yang menceritakan bahwa telah datang kepada Rasulullah dua orang yang berselisih tentang muzara`ah yang mereka lakukan hingga menjadikan mereka berusaha untuk saling membunuh, maka untuk permasalahan mereka ini Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang terjadi maka sebaiknya mereka tidak melakukannya (muzara`ah). Bunyi Haditsnya sebagai berikut:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِحَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya: Dari jalan Rafi’ bin Khadij, ia berkata: “Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara’ah, kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang.
              (H.R. Bukhari).
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ عن رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَالَ: حَدَثَنِّيْ عَمَّايَ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْرُوْنَ الأَرْضَ عَلَى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا يَنْبُتُ عَلَى الأَرْبِعَاءِ أَوْ شَيْءٍ يَسْتَثْنِيْهِ صَاحِبُ الأَرْضِ, فَنَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ. فَقُلْتُ لِرَافِعٍ: فَكَيْفَ هِيَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ؟ فَقَالَ رَافِعٌ: لَيْسَ بِهَا بَأْسَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ.
Artinya:“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi  dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu ,’alaihi wa sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.(HR Bukhari)[10]
عن كثير بن فرقد عن نافع أن عبد الله بن عمر كان يكري المزارع فحدث أن رافع بن خديج يأثر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : أنه نهى عن ذلك قال نافع فخرج إليه على البلاط وأنا معه فسأله فقال نعم نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن كراء المزارع فترك عبد الله كراءها
Artinya: “Dari Katsir Ibnu Farqad dari Nafi’ berkisah, bahwasanya Abdullah Ibnu Umar dulu biasa menyewakan tanah, kemudian ia mendengar Rafi’ ibnu Khadij meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw telah melarang hal itu. Maka ia datang kepada Rafi’ bersamaku dan bertanya mengenai hal tersebut. Jawab Rafi’: “Benar, Rasulullah saw telah melarang seseorang menyewakan sawah”. Sejak itu Abdullah tidak lagi mau menyewakannya.”(Hadits Riwayat: An-Nasa’i)[11]
          Dari beberapa Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw melarang menyewakan tanah pertanian, berarti pemberian upah atau bagi hasil dari hasil pertanian itu tidak dibolehkan sebagaimana hadits yang disampaikan oleh Rafi’ ibnu Khadij. Namun hadits ini dibantah oleh Yazid ibnu Tsabit, yang mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’ ibnu Khadij tidak sempurna sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah. Nafi’ ibnu Khadij hanya mendengarkan sepotong dari sabda Rasulullah yaitu “Janganlah kamu menyewakan tanah” Sementara dia tidak tahu apa masalah yang sebenarnya atau melatarbelakangi masalah tersebut sehingga Rasulullah saw melarangnya. Yazid ibnu Tsabit lebih mengetahui hadits tersebut dari pada Nafi’ ibnu Khadij, dimana Rasulullah melarang menyewakan tanah dikarenakan pada suatu hari ada dua orang saling bunuh membunuh disebabkan masalah penyewaan tanah yang tidak adil tersebut, maka keluarlah hadits tersebut. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Urwah ibnu Zubair sebagai berikut:
عن عروة بن الزبير قال قال زيد بن ثابت : يغفر الله لرافع بن خديج أنا والله أعلم بالحديث منه إنما كانا رجلين اقتتلا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن كان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع فسمع قوله لا تكروا المزارع
Artinya: Dari Urwah ibnu Zubair berkata: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ ibnu Khadij. Demi Allah, Aku lebih mengetahui hadits daripada ia. Rasulullah saw melarang menyewakan tanah, dikarenakan pada suatu hari ada dua orang yang bunuh membunuh sebab masalah penyewaan tanah, maka dari itu beliau bersabda: “Jika kamu bertengkar seperti ini, janganlah kamu menyewakan tanah” Rupanya ia hanya mendengar sabda beliau: “Janganlah kamu menyewakan tanah”.” (H.R. An Nasa’i)[12]
          Jadi munculnya hadis tentang muzara’ah dari Rafi’ bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang dilakukannya muzara’ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, itu memang benar. Namun hal itu tidak bisa dijadikan hujah larangan menyewakan tanah (muzara’ah) karena hadits tersebut yang diriwayatkan Rafi’ ibnu Khadij tidak semata-mata dilihat dari apa yang disampaikan rasulullah saw saja, namun kita lihat dari latar belakng sehingga dikeluarkan hadits tersebut, dengan kata lain harus dilihat secara kontektual atau dilihat dari asbabul wurudnya dulu.
          Dengan adanya bantahan dari Yazid ibnu Tsabit ini, maka telah jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzara’ah.
          Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah SAW tentang muzara’ah dalam hal ini bersifat kasuistik, di mana beliau memandang bahwa orang tersebut kurang tepat dalam melakukan akad muzara’ah, sehingga larangan itu bukan berarti melarang hukum muzara’ah secara hukum, melainkan arahan beliau kepada orang seseorang tertentu untuk menggunakan sistem lain yang lebih tepat.
ما كنا نرى في المزارعة بأسا حتى سمعت رافع بن خديج يقول: إن رسول الله نهى عنها، فذكرت لطاوس فقال: قال لي أعلمهم (يقصد ابن عباس) إن رسول الله لم ينه عنها ولكن قال: لأن يمنح أحدكم أرضه خير من أن يأخذ عايها خراجا معلوما – رواه الخمسة
“Kami tidak memandang bahwa di dalam muzara’ah itu ada larangan, hingga aku mendengar Rafi’ bin Khudaij berkata bahwa Rasulullah SAW melarangnya. Maka aku bertanya kepada Thawus dan beliau berkata,”Orang yang paling mengerti dalam masalah ini telah memberitahukan ku (maksudnya Ibnu Abbas ra),”Sesunguhnya Rasulullah SAW tidak melarang muzara’ah, beliau hanya berkata,”Memberikan tanah kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak tertentu.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)
          Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada 600 m tertentu.
Perbedaannya dengan bentuk muzara’ah yang halal di atas adalah pada cara pembagian hasil, yaitu:
1.      Dimana bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase.
2.      Dimana bentuk yang terlarang itu adalah sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan.
          Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.
          Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.
E. Aplikasi dan perhitungan pembagian hasil
Praktek muzara’ah mengacu pada prinsip Profit and Loss Sharing System. Dimana hasil akhir menjadi patokan dalam praktek muzara’ah. Jika, hasil pertaniannya mengalami keuntungan, maka keuntunganya dibagi antara kedua belah pihak, yaitu petani pemilik sawah dan petani penggarap. Begitu pula sebaliknya, jika hasil pertaniannya mengalami kerugian, maka kerugiannya ditanggung bersama. Dalam prakteknya, muzara’ah sudah menjadi tradisi masyarakat petani di pedesaan. Khususnya di tanah Jawa, praktek ini biasa disebut dengan Maro, Mertelu dan Mrapat. Maro dapat dipahami keuntungan yang dibagi separo-separo (1/2:1/2), artinya separo untuk petani pemilik sawah dan separo untuk petani penggarap. Jika mengambil perhitungan mertelu, berarti nisbah bagi hasilnya adalah 1/3 dan 2/3. Bisa jadi 1/3 untuk petani pemilik sawah dan 2/3 untuk petani penggarap, atau sebaliknya sesuai, dengan kesepakatan antara keduanya.
          Menyangkut pembagian hasil tanah dari perjanjian bagi hasil ini dalam ketentuan hukum Islam ditemukan petunjuk seperti setengah, sepertiga, seperempat atau lebih dari itu atau pula bisa saja lebih rendah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (pemilik tanah penggarap tanah), sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَعْطَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ فَكَانَ يُعْطِى أَزْوَاجَهُ كَلَّ سَنَةٍ مِائَةَ وَسْقٍ ثَمَانِينَ
Artinya: Dari Ibnu Umar ra katanya, “Rasulullah Saw telah menyawakan kebun kurma dan sawah di desa Khaibar dengan seperdua hasilnya.(Hadits Riwayat Muslim).[13]
عن عبد الله رضي الله عنه قال : أَعْطَى رَسُولُ الله صَلى اللهُ عَلَيْه وَ سَلَّم خَيْبَرَ لِلْيَهُوْد أَنْ يَعْمَلُوْهَا وَيَزْرَعُوْهَا وَلَهُمْ شَطْر مَا يَخْرُج مِنْهَا
Artinya: Dari Abdullah ra, berkata, “Rasulullah Saw memberikan lahan pertanian Kaibar kepada orang-orang yahudi untuk mereka kelola dan tanami, dan bagi mereka separuh hasilnya.” (Hadits Riwayat Bukhari)[14]                  
عن أبي إسحاق عن عبد الرحمن بن الأسود قال : كان عماي يزرعان بالثلث والربع وأبي شريكهما وعلقمة والأسود يعلمان فلا يغيران
Artinya: Dari Abu Ishaq dari Abdurrahman ibnu Al-Aswad berkata: “Kedua pamanku dan ayahku pernah menggarap sawah, dengan perjanjian mereka mendapatkan bagian sepertiga atau seperempat. Ketika Al-Qamah dan Al-Aswad tahu, maka keduanya tidak melarang.”
               (H.R. An Nasa’i)[15]
              
          Dari beberapa Hadits di atas bahwa pembagian pendapatan dari hasil kerjasama lahan pertanian (Muzaraah) antara pemilik tanah dan penggarap bisa disepakati dengan  setengah (50% untuk pemilik tanah dan 50% untuk petani penggarap), sepertiga (satu untuk pemilik tanah dan tiga untuk penggarap) atau seperempat (satu untuk pemilik tanah, dan empat untuk penggarap) atau juga bisa kurang atau bisa lebih dari itu, tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak.
          Namun dalam kondisi masyarakat sekarang dan yang akan datang, pembagian hasil seperti itu tentunya sangat tidak memungkinkan, sebab kalau pembagian hasil tersebut hanya diserahkan kepada kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap tanah, kemungkinan besar pihak penggarap akan dirugikan, sebab penggarap berada di posisi yang lemah, karena sangat tergantung kepada pemilik tanah, sebagaimana kita ketahui semakin hari jumlah tanah pertanian semangkin berkurang dan disisi lain jumlah petani penggarap semangkin bertambah banyak jumlahnya. Dari sini maka akan terjadi persaingan antara sesama petani penggarap, jadi pengambilan bagi hasil yang tersebut dapat menguntungkan pemilik tanah.
          Untuk itu pemakalah mengusulkan supaya tidak terjadi diskriminasi terhadap petani penggarap atau sebaliknya dan tidak terjadinya manipulasi dari hasil yang diperoleh oleh petani penggarap terhadap pemilik tanah atau supaya tidak menimbulkan pertentangan antara petani penggarap dengan pemilik lahan ada baiknya kesepakatan itu dilandasi dengan prinsip keadilan, kejujuran kepercayaan, dan aturan-aturan teknis maupun non teknis baik mekanisme bagi hasil yang mengikat yang diatur oleh pemerintah. Keadilan maksudnya disini adalah antara petani pengggarap dengan pemilik lahan tidak merasa keberatan dan dirugikan baik dari segi pengelolaan maupun dari segi keuntungan bagi hasil. Sedangkan kejujuran disini dimana  adanya keterbukaan cara pengelolaan, jenis tanaman yang ditanam, dan jumlah hasil yang didapat, serta kepercayaan artinya tidak saling mencurigai dan menyalahkan antara kedua belah pihak.
          Sementara aturan yang mengikat khususnya di Indonesia, Pada tanggal 7 Januari 1960 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Adapun yang menjadi tujuan utama lahirnya undang-undang ini sebagaimana dikemukakan dalam memori penjelasan undang-undang itu, khususnya dalam penjelasan umum poin (3) disebutkan:
“Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang kuat sebagaimana halnya dengan perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang agraria diadakanlah undang-undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud”:
  1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil.
  2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
  3. Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah bergembiralah para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi “sandang pangan” rakyat.[16]
          Kemudian dalam rangka perimbangan bagi hasil yang sebaik-baiknya antara kepentingan masing-masing pihak pemilik tanah dan penggarap telah dikeluarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak antara pemilik tanah dan penggarap, yang mana dalam keputusan tersebut di atas dikemukakan pada poin kedua menetapkan sebagai berikut: Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik.
          Besarnya imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 sepanjang mengenai padi yang ditanam ditempatkan oleh Bupati/Walikotamadya dengan mempergunakan pedoman sebagai berikut:[17]
  1. Oleh Bupati/Walikotamadya kepala daerah berdasarkan usul dan pertimbangan Camat/Kepala Wilayah Kecamatan serta instansi-instansi yang bidang tugasnya berkaitan dengan kegiatan usaha produksi pangan dan pengurus organisasi tani yang ada di daerahnya dengan terlebih dahulu mendengar usul dan pertimbangan Kepala Desa atau Kepala Kelurahan dengan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desanya.
  2. Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan penen sebagaimana dimaksud dalam pasal huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahaun 1960 dinyatakan dalam bentuk natura pada gabah sebesar maksimum 25% dari hasil kotor yang besarnya di bawah atau sama dengan hasil produksi rata-rata dalam daerah tingkat II atau kecamatan yang bersangkutan atau dalam bentuk rumus sebagai berikut:
Z = 1/4X
Keterangan: Z: Biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak atau tenaga tanam dan panen. X: Hasil kotor.
  1. Jika hasil yang dicapai oleh penggarap tidak melebihi hasil produksi rata-rata daerah tingkat II atau kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya kepala daerah yang bersangkutan, maka hasil kotor, setelah dikurangi biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan panen yang dihitung menurut rumus 2 di atas, dibagi dua sama besar antara penggarap danpemilik, atau dalam bentuk rumus sebagai berikut:
            Hak penggarap = hak pemilik =    =  
  1. Jika hasil yang dicapai oleh penggarap di atas hasil produksi rata-rata daerah tingkat II/kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya kepala daerah yang bersangkutan, maka besarnya bagian yang menjadi hak penggarap dan pemilik ditetapkan sebagai berikut:
a.       Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi menurut rumus 1.
b.      Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara penggarap dan pemilik dengan imbangan bagian, 4 bagian dari penggarap dan 1 bagian dari pemilik atau dalam bentuk rumus (rumus II) sebagai berikut:
Hak Penggarap: 
                          +
Hak pemilik:
                      +
Keterangan Y: Hasil produksi rata-rata daerah tingkat II atau kecamatan yang bersangkutan.
  1. Jika disuatu daerah bagian yang menjadi hak penggarap pada kenyataanya lebih besar dari apa yang ditentukan pada rumus 1 dan II di atas, maka tetap diperlakukan imbangan yang lebih menguntungkan penggarap.
  2. Ketetapan Bupati/Walikotamadya kepala daerah mengenai besarnya imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik serta hasil produksi rata-rata tiap Ha di daerah tingkat II atau kecamatan yang bersangkutan, diberitahu kepada DPRD tingkat II setempat.
  3. Sesuai dengan penjelasan pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, zakat disisihkan dari hasil kotor yang mencapai nisab untuk padi (ditetapkan sebesar 14 kwintal).
  4. Sesuai dengan ketentuan pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 pemberian “sromo” oleh calon penggarap kepada pemilik tanah dilarang.
  5. Sesuai dengan ketentuan pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, pajak tanah sepenuhnya menjadi beban pemilik tanah dan dilarang untuk membebankan kepada penggarap.
Contoh rumus 1:
Disuatu daerah tingkat II, oleh Bupati/Walikotamadya ditetapkan bahwa hasil produksi rata-rata 1 hektar sawah adalah sebesar 2000 kg gabah, dan dari hasil pengolahan ternyata hasil yang diperoleh hanya sebesar 1800 kg. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Rumus:
Hak penggarap = hak pemilik =    =  
            
Hasil akhir:
1.      Untuk penggarap = 450 + 675 = 1125 Kg.
2.      Untuk pemilik     = 675 Kg.
Contoh rumus II.
          Disuatu Daerah Tingkat II, oleh Bupati/Walikotamadya kepala daerah ditetapkan hasil produksi rata-rata 1 Ha sawah adalah sebesar 1800 kg gabah, ternyata setelah diolah hasil produksi mencapai 3000 kg gabah.
Maka pembagiaanya adalah sebagai berikut:
Untuk penggarap = 1125 kg
Untuk pemilik     = 675 kg
Langkah kedua, adalah pembagian sisa dari hasil produksi rata-rata, yaitu 3000 – 1800 = 1200 kg. Sisanya ini dibagi dengan rumus II.
Rumus:
Hak penggarap =  +
Keterangan: Y: Hasil produksi rata-rata daerah tingkat II
X: Hasil kotor
Z: Biaya bibit, sarana produksi,tenaga tanam dan panen lainnya.
                         = 1125 +
Hak Pemilik    =    +
                        = 675 +
Hasil Akhir:
Hak Penggarap = 1125 kg + 960 kg = 2085 kg
Hak Pemilik     = 675 kg + 240 kg = 915 kg.

F. Implikasi atau dampak dari sistem muzara’ah
          Diterapkannya bagi hasil sistem muzara’ah berdampak pada sektor pertumbuhan sosial ekonomi, seperti:
  1. Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang bekerjasama.
  2. Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun pemilik tanah.
  3. Dapat mengurangi pengangguran.
  4. Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.
  5. Dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopong pertumbuhan ekonomi secara makro.

G. Berakhirnya Muzara’ah
          Muzara’ah berakhir karena beberapa hal sebagai berikiut:[18]
  1. Jika pekerja melarikan diri, dalam kasus ini pemilik tanah boleh membatalkan transaksi berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi boleh (tidak mengikat). Jika berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya transaksi yang mengikat, seorang hakim memperkerjakan orang lain yang menggantikannya.
  2. Pekerja tidak mampu bekerja. Dalam hal ini, pemilik lahan boleh memperkerjakan orang lain yang menggantikannya dan upah menjadi haknya karena ia mengerjakan pekerjaan.
  3. Jika salah satu dari pihak meninggal dunia atau gila, berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi yang mengikat, maka ahli waris atau walinya yang menggantikan posisinya.
  4. Adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk mengakhiri dengan kerelaan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
          Muzara’ah adalah salah satu bentuk ta’awun (kerja sama) antar petani (buruh tani) dan pemilik sawah. Serigkali kali ada orang yang ahli dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu menanaminya. Maka Islam mensyari’atkan muzara’ah sebagai jalan tengah bagi keduanya. Pada prakteknya, muzara’ah mengacu pada prinsip Profit and Loss Sharing System. Dasar yang menjadi acuan praktek muzara’ah sendiri adalah hadits Nabi Saw. Diantaranya, Hadits Riwayat Imam Bukhari, Muslim dan Nasa’i yang menyatakan bahwa kaum Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/2, 1/3, ¼ dan lain sebagainya tergantung kesepakatan dengan mengutamakan prinsip keadilan.
Itulah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi di tengah para sahabat dan kaum muslimin setelahnya. Ibnu ‘Abbas menceritakan bahwa Rasululah saw bekerja sama (muzara’ah) dengan penduduk Khaibar untuk berbagi hasil atas panenan, makanan dan buah-buahan. “Bahkan Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain mengatakan bahwa tidak ada seorang muhajirin yang berpindah ke Madinah kecuali mereka bersepakat untuk membagi hasil pertanian sepertiga atau seperempat.”[19]
          Diterapkanya sistem muzara’ah sangat berdampak pada pertumbuhan sosial ekonomi dalam masyarakat serperti saling tolong-menolong. dapat meningkatkan penghasilan kedua belah pihak yang berkerjasama, dan dapat meningkatkan produksi dalam negeri, sehingga dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
B. Saran
          Sistem bagi hasil muzara’ah dalam Islam, merupakan sistem yang sangat adil dalam pembagian keuntungan, dibandingkan dengan sistem-sistem kerjasama pengelolaan pertanian lainnya seperti, sewa (al-ijarah), upah dan lain sebagainya. Maka dari itu penulis menyarankan segenap masyarakat, pembaca dan para praktisi yang berperan aktif dalam bentuk kerjasama lahan pertanian untuk melakukan akad bentuk muzara’ah.
         Untuk menghindari kecurangan-kecurangan atau sesuatu yang tidak diinginkan oleh pihak-pihak yang berakad muzara’ah perlu kiranya diterapkan/dilaksanakan undang-undang sebagaimana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil dan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak antara pemilik tanah dan penggarap. Namun dalam peraturan undang-undang tersebut penulis mengkritisi mengenai bentuk atau cara perhitungan keuntungan bagi hasil yang sulit difahami oleh pihak-pihak yang berakad. Karena pihak-pihak yang berakad muzara’ah sebagian besar adalah masyarakat yang kurang berpendidikan atau berpendidikan rendah sehingga mereka sulit menentukan bagi hasil keuntungan mereka masing-masing. Dari itu penulis menyarankan sebaiknya perhitungan bagi hasil dilakukan dengan cara ½, 1/3, ¼, 1/5, dan seterusnya sesuai kesepakatan kedua belah pihak, sehingga mudah difahami atau dihitung oleh masyarakat petani.

Daftar Pustaka
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fatul Baari (Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari 14, cet. Ke-2, Jakarta: Buku Islam Rahmatan, 2010.
Al-Husain, Muhammad Albakir bin Ali bin, Ensiklopedi Muslim, Taisirul ‘Alam jilid 2, Shahihul Bukhari , Al Wajiz.
Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad, Abdullah bin Muhammad Al-Muthalaq, Muhammad bin Ibrahim, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan Empat Madzhab (jdl asli “Al-Fiqhul-Muyassar Qismul-Mu’amalat, Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkamal-Fiqhil Islam bi Uslub Wadhih Lil Mukhtashshin Wa Ghairihim”), Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009.
Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000
Khalafi, Abdul Azhim bin Badawai al-, Disalin dari kitab: Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, ter. Team Tashfiyah LIPIA, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2007.
Khalid Bahreisj, Hussein, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya: Al-Ikhlas, 1987.
Nasa’iy, Abu Abdur Rahman Ahmad An, Sunan An Nasa’iy Jilid 4, terj, Arifin, Bey, Mahdor, Yunus Ali Al, Reyes, Ummu Maslamah, Semarang: Asy-Syifa’, 1993.
Pasaribu, Chairuman, K.Lubis, Suhrawardi, Perjanjian Dalam Islam, cet. Ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Razak, A, Lathief, Rais, Terjemahan Hadits Shahih Muslim, cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Al-Husna,
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, cet. Ke-6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.


             [1] Abdurrahman al-jaziri, Fiqih ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hlm,1.
             [2] Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Disalin dari kitab: Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, ter. Team Tashfiyah LIPIA, (Jakarta: Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, 2007)
             [3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm 153-155.
             [4] Sulaeman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994).
              [5] Hussein Khalid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), hal 173-174
              [6] Al-Wajis, Ensiklopedi Muslim, Taisirul ‘Alam jilid 3, Shahihul Bukhari
              [7] Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal 158
              [8] Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, (Jjakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 278
              [9] Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal 158-159.
                 [10] Al-Wajis, Ensiklopedi Muslim, Taisirul ‘Alam jilid, Shahihul Bukhari
                 [11] Abu Abdur Rahman Ahmad An Nasa’iy, Sunan An Nasa’iy VII, terj Bey Arifin, Yunus Ali al Mahdor, Ummu Maslamah Rayes, (Semarang: Asy Syifa’, 1993) hal 74.
                   [12] An Nasa’iy, Sunan An Nasa’iy VII...,hal 81-82
                  [13] A.Razak, Rais Lathief, Terjamahan Hadits Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987), hal 249
                 [14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari (Kitab Shahih al-Bukhari 14), (Jakarta: Buku Islam Rahmatan Cet 2, 2010), Hal 122-123
                 [15] An Nasa’iy, Sunan An Nasa’iy VII...,hal 83-84
             [16] Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), Hal 63.
             [17] Ibid., Hal 64-67.
                [18] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan Empat Mazhab, cet-1, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 310.
               [19]  Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain Ensiklopedi Muslim, Taisirul ‘Alam jilid 2, Shahihul Bukhari , Al Wajiz